Dalam  kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah  karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh  kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami  kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam  belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa  ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil  belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis,  sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang  dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan  belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning  disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner,  dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari  masing-masing pengertian tersebut.
Learning  Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar  seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada  dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak  dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya  respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang  dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa  yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan  sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang  menuntut gerakan lemah-gemulai.
Learning  Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa  tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak  menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau  gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur  tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley,  namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak  dapat menguasai permainan volley dengan baik.
Under  Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat  potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi  belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites  kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul  (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah  sangat rendah.
Slow  Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses  belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan  sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
Learning  Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana  siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil  belajar di bawah potensi intelektualnya.
Siswa  yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di  atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam  perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif .  Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar,  antara lain :
Menunjukkan  hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh  kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
Hasil  yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin  ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya  selalu rendah
Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
Menunjukkan  perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak  mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas,  tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan  sebagainya.
Menunjukkan  gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah  tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi  tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan  perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara  itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga  mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan  siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa  dikatakan gagal dalam belajar apabila :
Dalam  batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat  keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal  dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion  reference).
Tidak  dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat  berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang  dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
Tidak  berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan  sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa  ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang  (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk  dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang  mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau  patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana  siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat  ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa: (1)  tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian  hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam  keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu  komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses  kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan  pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang  dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai  siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai  tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar.  Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan  pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus  dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang  dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara  statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil  jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh  tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran  tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan,  seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai  standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau  sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya,  jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut  dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat  digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk  nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan  seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian  hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila  memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara  keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang  mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan  belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan  arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain  dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai  siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa  yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara  statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka  yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan  lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai  nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling  rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka  yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan  belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap  siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi  di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan  belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi  belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat  potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang  berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi  belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang  rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula.  Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang  dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat  merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami  kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan  potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti  pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ)  sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet.  Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang  seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia  bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala  kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil  belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh  kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan  perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam  belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan  tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan  mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau  kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh,  melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah,  emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
B. Bimbingan Belajar
Bimbingan  belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami  kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar  dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi kasus
Identifikasi  kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan  layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003)  memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi  siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
Call  them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara  bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang  benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
Maintain  good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban  sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini  dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada  hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan  ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
Developing  a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah  penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara  mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu  tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya  untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
Melakukan  analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui  tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah  ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau  masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar,  permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial –  material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d)  personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah  mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa  yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu  untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek :  (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d)  ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan  pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i)  keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Diagnosis
Diagnosis  merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang  melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar  Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa  dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton  membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat  menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor  internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri,  seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian,  emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor  eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk  didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4. Prognosis
Langkah  ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin  untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal  ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan  hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada  tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus,  dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama  menangani kasus – kasus yang dihadapi.
5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika  jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan  sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan  kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat  dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika  permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam  dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas  hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Evaluasi dan Follow Up
Cara  manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya  dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh  tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan  masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan  dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria  keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
- Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
- Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
- Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:
- Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
- Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
- Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Ini  sedikit pengalaman dan sharing tentang pembelajaran di bimbingan  belajar di mana penulis pernah menjadi pengajar di salah satu bimbingan  belajar. Semoga dari pengalaman ini bisa diambil pelajaran dan  perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan di masa datang.
Pada  prinsipnya, pembelajaran di kelas-kelas Bimbingan belajar dilakukan  dengan tujuan untuk mempersiapkan siswa terampil dalam mengerjakan  soal-soal ujian. Pembelajaran dilakukan dengan fokus bagaimana siswa  dapat mengerjakan soal dengan mudah dan cepat.
Materi  pelajaran diberikan secara singkat dan padat. Dalam mencapai target  materi yang sangat padat biasanya kelas-kelas di bimbingan belajar  tersedia proyektor sebagai alat Bantu. Pembelajaran semacam ini mungkin  sesuai untuk program intensif dalam menghadapi ujian masuk PTN maupun  untuk kelas yang dirancang khusus untuk mempersiapkan siswa mengikuti  ujian masuk PTN.
Akan  tetapi pembelajaran yang berbeda harus dilakukan untuk kelas regular di  mana pemahaman terhadap materi pelajaran tidak dapat diabaikan. Oleh  karena itu diperlukan pendekatan yang berbeda antara pembelajaran  program regular dan program intensif. Pemisahan semacam inilah yang  belum disadari dalam penyelenggaraan bimbingan belajar yang ada.
Jika  dilihat dari sudut pandang metode belajar modern yang berkembang saat  ini maka pembelajaran yang berlangsung di bimbingan belajar (khususnya  pada program regular), meskipun telah dirancang sedemikian rupa agar  tidak membosankan, pada dasarnya dapat digolongkan sebagai berikut.
Pembelajaran  berpusat pada guru/pengajar (teacher centered learning) bukan  pembelajaran berpusat aktivitas (activity driven learning). Menurut  penelitian pembelajaran lebih efektif melalui pengalaman dan dengan  siswa langsung berinteraksi dengan bahan yang sedang dipelajari.  Pembelajaran di bimbingan belajar masih menempatkan guru sebagai pemberi  materi dan siswa dianggap sebagai wadah yang harus diisi dengan ilmu.
Pembelajaran  berbasis media tunggal (single-media based learning) bukan pembelajaran  berbasis multimedia (multimedia based learning). Multimedia di sini  bukan berarti komputer yang dilengkapi multimedia. Tetapi, multimedia  adalah penggunaan berbagai macam media yang dapat memudahkan siswa  memahami materi pelajaran. Selama ini dianggap dengan menggunakan alat  Bantu proyektor seorang pengajar merasa telah menggunakan media belajar.  Padahal penggunaan proyektor hanya memanfaatkan media tunggal yang  efektivitasnya lebih rendah dibanding multimedia.
Pembelajaran  berbasis pada isi (content based learning) bukan pembelajaran berbasis  konteks (context based learning). Materi pelajaran yang akan di kelas  bimbingan belajar biasanya telah terjadwal dan tiap materi harus selesai  pada tiap pertemuan. Setiap siswa dianggap sama dalam menyerap  pelajaran sehingga materi akan diselesaikan sesuai jadwal sehingga  selesainya materi dianggap juga dengan pahamnya siswa terhadap materi  yang sudah disampaikan. Padahal setiap siswa berbeda dalam menyerap  pelajaran dan merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab apabila  kita menganggap selesainya materi juga berarti seluruh siswa memahami  materi yang diberikan.
Pelaksanaan  pembelajaran seperti yang disebutkan di atas dilakukan pada dasarnya  juga tidak diharapkan dan bukan merupakan suatu kesengajaan.  Keterbatasan-keterbatasan yang menyertai kegiatan bimbingan belajar  menjadi alasan timbulnya kesan seperti di atas. Penyelenggara bimbingan  belajar harus berani mengakui bahwa bimbingan belajar bukanlah tempat  untuk belajar yang sesungguhnya.
Kebanyakan  siswa masih menganggap bimbingan belajar hanya sebagai selingan pengisi  kegiatan di luar sekolah. Waktu belajar di bimbingan belajar bukanlah  waktu utama siswa untuk belajar. Dengan kondisi demikian metode belajar  secanggih apa pun tidak akan efektif diterapkan di kelas-kelas bimbingan  belajar.
Keadaan  yang tidak kondusif ini diperparah dengan kapasitas siswa per kelas  yang tidak mendukung terciptanya suasana belajar yang efektif. Rata-rata  jumlah siswa per kelas (menurut pengamatan penulis) tidak kurang dari  35 orang.
Jika  dibandingkan dengan di sekolah saja jumlah ini terlalu besar. Jumlah  siswa sebesar ini bukanlah jumlah yang diharapkan bagi sebuah kelas yang  ingin melaksanakan proses pembelajaran yang efektif. Sebuah kelas  bimbingan belajar tidak selayaknya diisi oleh begitu banyak siswa dengan  berbagai macam watak dan karakter dan dalam kondisi tidak begitu siap  untuk belajar.
Seperti  yang telah disebutkan di atas bahwa metode belajar secanggih apa pun  tidak akan bisa diterapkan dalam kondisi semacam ini. Selain itu  kapasitas kelas yang demikian besar tidak mencerminkan keinginan  penyelenggara bimbingan belajar untuk memberikan pelayanan yang  memuaskan buat konsumen.
Kondisi  kelas di bimbingan belajar seperti yang disebutkan di atas akhir-nya  dapat membawa efek negatif yang tidak diharapkan. Dilihat dari sudut  pandang siswa kelas-kelas di bimbingan belajar menjadi tidak kondusif  untuk melakukan kegiatan belajar. Akibatnya belajar menjadi tidak  efektif.
Hal  ini juga menyebabkan kegiatan belajar dalam kondisi ini membuang-buang  waktu dan tenaga karena tidak ada hasilnya sama sekali. Kenyataan ini  membuat kita bertanya-tanya jadi apa yang telah kita lakukan selama ini?  Apa yang telah kita berikan kepada siswa kita? Apa peran kita terhadap  prestasi belajar siswa?
Selanjutnya  apabila dilihat dari sudut pandang pengajar kondisi belajar yang tidak  kondusif membuat pengajar tidak berkembang kapasitasnya dan menimbulkan  keterpaksaan dalam menyampaikan materi. Pengajar menjadi tidak  bersungguh-sungguh mengajar atau tidak ikhlas dan bahkan bisa sampai  pada tingkat mengajar hanya untuk mengejar honor saja (naudzubillah min  dzalik).
Tanpa  menafikan berbagai hambatan yang menyertai penyelenggaran bimbingan  belajar tidak ada alasan untuk membiarkan begitu saja sistem  pembelajaran di bimbingan belajar terus berlangsung dalam keadaan  seperti ini. Penyelenggara bimbingan belajar tidak boleh berdiam diri  dan menutup mata terhadap kenyataan yang ada bila tidak mau menciptakan  ironi dalam pendidikan, yaitu keinginan untuk mencerdaskan siswa berubah  menjadi membodohi siswa.
Dengan  menjamurnya bimbel di tengah masyarakat ,maka kami memberikan beberapa  langkah untuk menentukan ,bagaimana cara memilih bimbel? Dengan  munculnya bimbel yang mengaku sebagai bimbel terbaik ,tentu  membingungkan siswa atau orang tuanya ,yang sungguh sungguh pingin  supaya anaknya berprestasi. Kami sebagai penyelenggara bimbingan belajar  tentu ingin merubah citra bimbel di masyarakat yang saat ini di anggap  sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Pandangan ini membuat imige  bimbel menjadi bergeser kearah negatif.
Gama  inter studi sebagai lembaga yang terdiri dari sekelompok orang yang  berprofesi sebagai guru dan Dosen merasa peduli ,atas munculnya bimbel  yang semata mata hanya memandang dari sudut bisnisnya saja. kami  bertekad membuat bimbingan belajar atas dasar prestasi dan menjaga  kualitas materi pelajaran dengan menciptakan system pembelajaran yang  menyenangkan ,sehingga mudah di pahami siswa/siswi. Dengan konsep 5 S  yaitu senyum , salam, sopan ,sabar dan smart siswa menjadi nyaman ,dan  orang tua percaya menaruh putra-putrinya di tempat kami.
Konsep  5 P ,Sebagai pondasi kami dalam mempertahankan kualitas yaitu Product  unggul, Performance yang menarik, Personality yang terpuji , Price yang  mempunyai nilai tambah, dan Promotion yang muncul dari konsumen (siswa)  atas dasar kepuasan. Dengan konsep ini kami bersaing di masayarakat  untuk merebut hati siswa ,walaupun siswa dan orang tua terkadang terbius  oleh nama besar bimbel yang belum tentu sesuai dengan nama besar  tesebut,karena pengawasan jauh dari kantor pusat, dan tutor biasanya  tidak jauh dari lokasi bimbel itu sehingga akan mempengaruhi kualitas  bimbel.
Kami memberikan cara memilih bimbel yaitu:
- Mencari bimbel pusat karena pengawasan dan tutor lebih berkualitas.
- Ratio Tutor antara guru formal dan informal karena mempengaruhi materi dan kurikulum.
- Lokasi tidak jauh dari tempat tinggal
- Jaminan yang di berikan oleh bimbel itu yang berhubungan dengan kualitas materi.
- Jangan tergiur oleh hadiah-hadiah bila mengikuti bimbel,karena niat belajar tidak baik di dorong oleh cara begitu, kecuali mendapat prestasi setelah mengikuti bimbel.
- Tulisan ini sebagai tambahan refrensi dalam memilih bimbingan belajar. Kami hanya menawarkan solusi bahwa kami memberikan yang terbaik untuk putra putri anda.
